Pada usia 21 tahun, Robert Raikes (1751 – 1811) bekerja menjadi
editor Gloucester Journal di Inggris, karena ayahnya meninggal dan ia anak
tunggal. Ia adalah seorang yang cinta anak-anak. Kota Gloucester, Inggris,
berada dalam keadaan yang menyedihkan secara fisik, intelek maupun moralnya.
Kondisi industrinya buruk, tidak ada pendidikan umum, jarang yang lulus sekolah
dasar. Akibat dari situasi dan kondisi ini adalah penjara menjadi penuh.
Melihat keadaan tersebut Robert Raikes ingin memperbaiki
masyarakat. Ia banyak membantu orang miskin yang tertindas, juga membantu orang
– orang yang berbuat jahat. Tetapi ia tidak begitu berhasil mencegah kejahatan
dan gagal dalam menghadapi orang dewasa. Ia menjadi yakin bahwa “kejahatan lebih
baik dicegah daripada disembuhkan”.
Pada suatu hari ia diminta untuk memuat dalam surat kabarnya
mengenai anak-anak nakal, menegur para orang tua dan polisi yang lalai namun ia
menolak.
Ketika ia mengunjungi daerah kumuh dibagian kota itu,
dijalanan sekelompok anak mendorongnya dengan kasar. Ia terusik melihat betapa
kasarnya mereka. Dan seorang pengamat berkata kepadanya, “if
you think they are bad, you should come back on Sunday when the worst ones are
off work”. Robert Raikes memutuskan untuk berbuat sesuatu.
Dari pembicaraannya dengan Pdt. Thomas Stock, di desa
Ashbury, Berkshire; timbullah rencana untuk menggunakan orang awam untuk
mengajarkan Firman Allah kepada anak-anak di hari yang terbaik yaitu Minggu,
karena pada hari lain mereka bekerja. Mereka merencanakan untuk meraih
anak-anak jalanan, bukan hanya anak-anak anggota jemaat.
Robert Raikes memulai percobaannya pada bulan Juli , 1780.
Sekolah Minggu pertama bertempat di dapur Ny. Meredith. Ia membayar Ny.
Meredith satu shilling sehari untuk memimpin sebuah sekolah dirumahnya. Ny.
Meredith mulai dengan anak laki-laki saja dan mendengarkan pelajaran yang
disampaikan anak-anak laki-laki yang usianya lebih tua. Yang nantinya
membimbing anak-anak yang lebih muda.
Beberapa bulan kemudian ia membuka sebuah Sekolah Minggu
lagi dirumah Ny. King dan Ny. Mary Critchley yang menjadi guru.
Robert Raikes menulis empat buku pegangan, yang ia cetak
dipercetakan miliknya. Buku-buku itu dicetak sebesar surat kabar, dipegang
didepan kelas untuk dibaca para murid.
1.
Acara :
Anak-anak 6 - 14 tahun datang dalam keadaan
bersih dan rapi. Mereka belajar dari pukul 10.00 – 12.00. Lalu pukul 13.00 ke
gereja, dilanjutkan pelajaran agama pkl. 14.00 - 17.00, kemudian mereka pulang.
2.
Syarat :
Rapi dan taat. Murid-murid yang berkelakuan
baik diberi hadiah Alkitab, kitab jilidan Alkitab, buku-buku, mainan, baju,
sisir dan lainnya.
3.
Pelajaran :
Mereka mempelajari Alkitab, membaca dan
menulis. Alkitab sebagai buku pelajaran di sekolah Minggu merupakan perantara
dasar untuk membentuk karakter seseorang dan memperbaiki keadaan masyarakat.
4.
Hasil :
Penjara kosong dan pelajaran agama ini
berhasil memperbaiki keadaan masyarakat Glocester yang berada dalam kemiskinan.
Setelah berjalan selama dua tahun, ia mengumumkan adanya
pelayanan ini sehingga semakin luas. Ia membuka Sekolah Minggu di berbagai
tempat miskin di Gloucester. Menggaji guru-guru wanita satu shilling sehari. Ia
membayar semua pengeluaran untuk Sekolah Minggu ini tanpa dukungan dari gereja
maupun pendeta selama kurang lebih enam tahun.
Selama tiga tahun ia menganggap semua pelayanan Sekolah
Minggu yang ia lakukan sebagai eksperimen. Pada 3 Nopember 1783, ia memuat
disurat kabarnya mengenai keberhasilan tersebut. Laporan itu diturunkan oleh
surat kabar di London. Ratusan yang mengikuti jejaknya dan memulai Sekolah
Minggu. Kemudian berita yang berupa sepucuk surat umum dari Robert Raikes
dimuat di Gentlemen’s Magazine. Setahun kemudian sebuah artikel mengenai
Sekolah Minggu tersebut dimuat di Armenian Magazine, yang diterbitkan oleh John
Wesley.
Efek dari pemberitaan itu :
1.
Timbul perhatian masyarakat mengenai rencananya,
khususnya pendidikan agama untuk anak-anak jalanan. Gerakan yang dilakukan oleh
Robert Raikes adalah gerakan yang melawan arus pada masa itu, karena gereja
pada waktu itu mengganggap pendidikan agama bagi orang miskin adalah sia-sia
dan mencemarkan hari Sabat.
2.
Banyak pihak yang mendukung gerakannya, antara
lain : John dan Charles Wesley, George Whitefield, William Fox, William
Wilberfore, James Hanway dan Ratu Inggris.
3.
Tantangan-tantangan yang tetap banyak dari
gereja maupun dunia, antara lain :
a.
Organisasi ini diragukan dan dijuluki ‘organisasi
iblis’.
b.
Uskup dari Canterbury mengadakan rapat dengan
para uskup untuk mencegah pelayanan Sekolah Minggu.
c.
Orang-orang kaya menentang pendidikan untuk
orang miskin karena mengakibatkan penuntutan kenaikan gaji.
d.
Orang duniawi berpendapat bahwa Sekolah Minggu
mengakhiri hiburan-hiburan duniawi.
Menghadapi semuanya itu apakah Robert Raikes patah semangat
dan undur? Sama sekali tidak! Ia bahkan semakin gigih memperjuangkannya. Ia
menjawab semua tantangan tersebut dengan tindakan konkrit. Ia dijuluki ‘polisi
angsa liar dengan rombongan pengacaunya’. Ia sendiri turun tangan untuk
mengatasi kegaduhan sekolah, menghukum anak-anak yang tidak taat, namun
disertai kepribadian yang agung dan luhur, memikat hati dan perhatian
anak-anak. Ini suatu pembuktian bahwa anak-anak nakal dapat dididik untuk
belajar.
Gerakan yang dimulai Robert Raikes berkembang sangat pesat
dan cepat. Ada sekolah Minggu disetiap kota besar, bahkan ada kota-kota yang
dengan bangga menyatakan bahwa setiap anak yang ada telah menjadi murid Sekolah
Minggu.
Tahun 1811 Robert Raikes meninggal dunia, tanpa menarik
perhatian. Saat itu Sekolah Minggu telah tersebar di Inggris. Pengaruhnya
meluas ke seluruh dunia.
Seorang ahli sejarah mengatakan “ pelajaran dan pendidikan
Sekolah Minggu juga memegang peranan yang besar untuk mencegah revolusi di
Inggris”
Tahun 1831 sebuah patung dibangun untuk mengingat Robert
Raikes sebagai Bapak Sekolah Minggu. Pada saat itu Sekolah Minggu di Inggris
telah menampung 1.250.000 anak setiap minggunya.
Haleluya….
Sumber : Materi pembinaan guru sekolah
minggu se-Klasis Biak Selatan oleh Tim Kerja GKI Sinode Jawa Barat
Mantapss...
BalasHapusmakasih mas...
Hapus